*artikel tambah pengetahuan.., dari kawan...
Semenjak kemunculan tayangan Lie To Me di jaringan TV kabel FOX, saya menemukan banyak orang yang keranjingan meneliti gerak-gerik lawan bicaranya. Ya saya memang selalu merekomendasikan serial tersebut kepada seluruh sahabat, tapi karena itu adalah tontonan yang menarik, bukannya mendorong mereka jadi berlagak Detektif Anti-Dusta. Jadi jika ucapan verbal tidak selaras dengan ekspresi non-verbal yang menyertainya, maka bisa dicurigai ada unsur kebohongan dalam komunikasi tersebut.
Permasalahannya, benarkah mengetahui tanda-tanda orang berbohong membuat Anda lebih mudah mendeteksi kebohongan?
Permasalahannya, benarkah mengetahui tanda-tanda orang berbohong membuat Anda lebih mudah mendeteksi kebohongan?
Serial Lie To Me yang memulai debutnya di tahun 2009 itu didasarkan pada premis bahwa perilaku kebohongan dapat diamati dari bahasa tubuh secara keseluruhan dan microexpressions yang muncul di wajah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan tersebut memang nyata, dikembangkan oleh Paul Ekman, seorang ilmuan dari University of California, San Francisco.
Dalam setiap episode, sang protagonis dikisahkan mengungkap berbagai kasus pelik dengan bekal ilmu analisa psikososial, mengesampingkan pendekatan forensik ilmiah yang dipopulerkan oleh CSI dan kebanyakan serial detektif lainnya. Penonton bukan saja menikmati kisah yang menarik penuh kejutan, tapi juga disuguhi berbagai tips-trik ilmu mengungkapkan kebohongan. Kita diajak untuk serba menganalisa dan skeptis dengan setiap tokoh yang dimunculkan dalam cerita, dan seringkali kebiasaan itu terus terbawa ke kehidupan nyata setelah tayangan film usai. Film tersebut juga terbukti memicu minat akan materi panduan seputar bahasa tubuh yang belakangan semakin menjamur di berbagai toko buku.
Menurut survei dari pada deception researchers, rata-rata manusia berbohong 1-2 kali setiap harinya, dan angka itu jelas adalah minimal karena hanya untuk orang yang mau mengaku saja. Dan berita buruk yang saya ingin sampaikan hari ini adalah tayangan Lie To Me (atau film detektif yang terkadang mengusung keilmuan sejenis, seperti The Mentalist) justru beresiko menurunkan kemampuan seseorang untuk mendeteksi kebohongan.
Penelitian ini dilakukan oleh Timothy Levine, seorang profesor komunikasi Michigan State University, yang menerbitkan hasilnya pada jurnal Communication Research sebagai berikut:
“Research participants divided into three groups watched an episode of Lie to Me, a different drama, and no program, then judged a series of honest and deceptive interviews. Lie to Me viewers were no better at distinguishing truths from lies but were more likely than control participants to misidentify honest interviewees as deceptive. Watching Lie to Me decreases truth bias thereby increasing suspicion of others while at the same time reducing deception detection ability.”
Saya terjemahkan kesimpulan akhir di atas ke bahasa yang lebih mudah dimengerti: penonton Lie To Me tetap sulit membedakan kebenaran dari kebohongan, malah jadi lebih sering menilai orang yang berkata jujur sebagai pembohong. Grup yang tidak menonton apa-apa memiliki akurasi 65,2% dalam mendeteksi kebohongan, grup yang menonton drama lain mencetak akurasi 61,7%, dan grup yang menonton Lie To Me mencetak akurasi terendah, yakni 59,5%. Alasannya adalah karena grup yang terakhir mengembangkan sikap kecurigaan yang sangat tinggi, sama seperti tokoh Cal Lightman dalam serial itu, dan terjebak mengambil kesimpulan yang salah.
Saya yakin hal yang sama terjadi jika Anda mengkonsumsi buku-buku tentang bahasa tubuh. Misalnya Anda mulai mempelajari body language itu karena ingin mengetahui apakah pasangan Anda sedang menyembunyikan sesuatu atau berselingkuh diam-diam. Ketika Anda curiga berlebihan, itu justru mengacaukan kemampuan Anda untuk menginterpretasi ekspresi lawan bicara.
Anda jadi terbawa dalam larutan ego yang ingin membuktikan diri Anda lihai mendeteksi kebohongan. Suara dalam pikiran Anda berbunyi demikian, “Mana tanda kebohongan? Mana bukti bahwa dia berdusta? Apakah dia memanipulasi fakta?” Anda tidak lagi netral, melainkan sudah menghakimi bahwa lawan bicara Anda pasti akan melakukan kebohongan. Ini sejalan dengan apa yang saya sudah jelaskan dalam Bukti Yang Menyulitkan Hidup Anda tempo hari, yakni bahwa Anda akan selalu menemukan apa yang Anda ingin temukan.
Jadi bagaimana cara agar Anda lebih handal mendeteksi kebohongan?
Pertama adalah menghilangkan penilaian prematur atau kecurigaan di awal. Kedua adalah apa yang ditemukan dalam penelitian Mariëlle Stel dari Leiden University: yaitu jangan melakukan mimikri. Menurutnya kita secara alamiah suka meniru mimik fisik dan ekspresi orang-orang yang sedang berbicara dengan kita.
Kebiasaan tersebut terjadi karena kita ingin ‘merasakan’ apakah lawan bicara kita berbohong. Sayangnya itu justru mengganggu kemampuan empati kita untuk menilai, sebagaimana dijelaskan dalam jurnal Psychological Science berikut:
“The results demonstrated that nonmimickers were more accurate than mimickers in their estimations of targets’ truthfulness and of targets’ experienced emotions. The results contradict the view that mimicry facilitates the understanding of people’s felt emotions. In the case of deceptive messages, mimicry hinders this emotional understanding.”
Saya pribadi sudah membaca buku Paul Ekman, Telling Lies, yang menjadi dasar keilmuan dari serial Lie To Me. Dijelaskan di sana bahwa mendeteksi kebohongan sama sekali tidak sesederhana dan sesingkat gambaran serial TV. Merasa detektif jagoan hanya karena tayangan itu sama konyolnya dengan Anda merasa jadi ahli medis karena menonton ER dan House, ahli forensik karena menonton CSI, dan ahli hukum karena menonton Law & Order. Percayalah, Anda tidak sehebat yang Anda pikirkan… persis seperti yang saya temukan dalam jurnal Applied Cognitive Psychology berikut:
“People tend to overestimate their capacity to detect lying in others and to underestimate their own ability to tell lies. The tendency of police interrogators to overestimate their ability to detect deception could change suspicion into certainty and increase the risk of a false confession.”
Anda punya pengetahuan/pengalaman lainnya? Bagikan di kolom komen.
Lex dePraxis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas Partisipasi Anda.